SEPANJANG PERJALANAN

     Tas-tas punggung besar. Kardus-kardus penuh terikat. Beberapa setia menenteng pelindung kepala, helm. Banyak yang berkesempatan duduk tapi lebih banyak yang bergelantungan. Bahkan lesehan di selasar. Penuh. Sesak. Tak peduli. Bau parfum hingga (maaf) aroma kentut. Sebuah harga murah yang mesti ditukar oleh anak-anak manusia itu, dibanding kilat nyalinya.
     Tak jelas siapa saja yang ada. Profesi gado-gado. Ah, entahlah. Ibu rumah tangga, karyawan, pedagang, mahasiswa, semua tumplek bleg. Beberapa perantau terlihat di antaranya. Kembali dari melepas rindu pada orang-orang terkasih setelah terpisah untuk waktu yang tak sama satu dengan yang lain. Tiada perjumpaan dengan belahan-belahan hati mereka.
     Aku yakin. Beberapa diantarnya selepas menemui ayah-bunda mereka di kampung halaman. Demi bakti kami, laut kami daki, gunung kami arungi, terbang di atas sungai, mengalir sepanjang udara. Ataupun setelah menjumpai musuh bebuyutannya, yang begitu dirindu tika jauh, tapi bak kucing dan tikus ketika bersama dalam waktu yang lain. Yah siapa lagi kalau bukan kakak dan adik tercinta. Menanyakan kabar ketika tak bersua tapi mengusir ketika sudah kembali ke gubug peradaban, rumah ayah dan bunda.
     Kini kami kembali menyeruak alam liar nun jauh di sana. Mengais rezeki, menangkap mimpi, menggapai cita, mewujudkan harapan-harapan untuk menjadi manusia yang lebih bermakna.
Rabb, inilah kami. Dengan sisa nyawa yang kami miliki izinkan kami mengumpulkan tenaga untuk berjinjit hingga berlari menjadi syahadah atas janji-Mu. Kembali pada aktivias luar biasa kami.
     Rabb, inilah kami. Di sepanjang kami tak disisi mereka, ayah-bunda kami. Izinkan kami tetap melantunkan cinta kami untuk mereka.

“Allahummaghfirly waliwalidayya warkhamhumma kamaa rabbayani shogira.”

Madiun Jaya, 6 Maret 2011.
Berjejal-bergelantung di samping pintu.

Comments