VOCATIONAL SCHOOL

     Entah mengapa tiba-tiba muncul kilatan pertanyaan-pertanyaan akhir-akhir ini. Di tengah hiruk-pikuk persiapan tahun ajaran baru. Hmm, rasanya tak asing lagi bagi kita dengan istilah “mencari sekolah” atau lebih tepatnya “mencari tempat sekolah baru” yang tentunya memiliki grade yang lebih tinggi. Itu artinya kalau tahun lalu kita duduk di TK maka tahun ini kita beralih ke SD begitu seterusnya hingga sekolah menengah tingkat atas, apapun namanya. Dulu ketika kakek-nenek kita masih timur rasanya menyelesaikan sekolah dasar adalah sebuah prestasi yang luar biasa. Tidak dengan sekarang. Walaupun pendidikan tinggi terkadang kehilangan esensinya, tergadai kualitasnya. Sudahlah.
     Kembali pada kegelisahan yang terutama ku alami ya setidaknya dua tahun belakangan. Semenjak duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah tingkat atas. Namun rupanya hal ini tak hanya dirasakan oleh teman-teman seperjuanganku. Kegelisahan umat. Kami berpikir tentang masa depan pendidikan kami. Sekadar informasi kami adalah gerombolan penghuni sekolah menengah kejuruan yang katanya ngetop abis di kota kami (duile…). Begini ceritanya lengkapnya.
     Tahun 2007 lalu, ketika lulus dari sekolah menengah pertama kami memilih jalan yang berbeda dengan teman-teman lain yang berjubel mendaftarkan dirinya di sekolah-sekolah menengah atas. Kami mencoba berlaku visioner (cie…) dengan mencoba peruntungan di sekolah menengah kejuruan. Dalam pikiran kami, setelah lulus kami bisa leluasa mendatangkan pekerjaan. Bukan mencari kerja. Benar memang sebelum lulus beberapa perusahaan menawari kami untuk bisa bergabung dengannya. Wallahu’alam terkhusus secara pribadi, aku kurang berminat memenuhinya.
     Menjelang kelulusan, beberapa dari kami berjuang hidup-hidupan untuk dapat meneruskan asa di madrasah-madrasah keilmuan setingkat UI, ITB, UGM, UNPAD, IPB, UNAIR, UNS, UNDIP, ataupun sekolah-sekolah kedinasan seperti STAN, STIS, dan lain sebagainya. Sungguh, bagiku perjuangan itu tidaklah mudah. Pun ketika ku tanyakan pada sobat-sobat pecinta ilmu mereka juga mengaku perjuangan itu tidaklah semudah membalik telapak tangan. Aku tak tahu dan mungkin tak pernah tahu siapa yang salah atau yang patut disalahkan, selain tentunya karena diri ini sendiri yang memang kurang berusaha dan yang pasti kurang mendekat pada-Nya. Hal inilah yang terkadang menghilangkan kesyukuran kami ketika melihat teman-teman kami yang menempuh pendidikan menengahnya di SMA/MA. Sorak-sorai mereka ketika diakui menjadi warga pusat peradaban (baca: universitas) tersebut. Di saat kami harus berjuang keras untuk menjadi teman mereka di perguruan tinggi, justru mereka tinggalkan jurusan di mana ia diterima karena ada jurusan lain yang menerimanya dan yang pasti lebih ia inginkan. Atau yang paling parah, mengambil dua jurusan di mana salah satunya diistirahatkan sejenak (cuti) untuk menempuh pendidikan yang lain. Tahun berikutnya barulah dipilih dan dipilah mana yang lebih manis rasanya.
     Oke, memang kami akui bahwa ilmu dasar kami sangat lemah. Matematika Dasar mereka merupakan Matematika tingkat tinggi bagi kami apalagi Matematika IPA. Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris mereka yang cap cus. Fisika yang kalau di sekolah kami tak pernah kami temui apalagi kami pelajari bagi mereka adalah makanan sehari-hari seperti Mesin Carnot, difraksi-interferensi, momen-gaya, fluks, torsi, apapun itu. Kemudian Biologi yang bagi mereka seperti menjelajah alam semesta dari flora sampai fauna, bagi kami proses evolusi, siklus krebs, susunan sel, dan teman-temannya sudah cukup untuk ujian akhir. Bagaimana dengan Kimia? Setidaknya di bidang inilah kami bisa sedikit berkejaran dengan mereka, menarik-narik rantai karbon. Namun bagi kami semua hal tersebut merupakan tantangan, gunung menjulang yang harus di daki. Bukan berarti melihat ketinggiannya lantas hanya menjadikan kita penonton para pendaki atau penduduk kaki gunung yang hanya bisa mengantarkan rombongan pendakian. Karena kami tahu, life is struggle.
     So, ingin rasanya aku benar-benar bersyukur pada-Nya di mana aku tergolong diantara sedikit anak SMK yang bisa mencicipi perguruan tinggi di sebuah PTN favorit di Indonesia. Dan ternyata banyak anak-anak SMK yang juga berjaya di perguruan tinggi negeri. Keep spirit for the vocational school lover!

Sebuah perenungan setelah SNMPTN 2011
Spesial untuk seluruh alumni SMK yang masih semangat
 Juga buat adik-adik SMK yang menginginkan berjuang di pusat peradaban

Comments