Pengakuan si PremCi (Preman Cilik)



                Mantan preman cilik, itulah aku dengan segala tingkah polahku ketika duduk di bangku Taman Kanak-Kanak hingga kelas satu Sekolah Menengah Pertama. Ya, aku adalah mantan preman cilik yang (mencoba) bertobat (hehe...).
                Rekam jejakku masa itu adalah komandan “pertempuran”, mulai dari adu mulut hingga tragedi berdarah. Aku ingat jelas ketika kelas nol kecil di sebuah Taman Kanak-Kanak ‘Aisyiah di Yogyakarta, seorang teman laki-lakiku menangis meraung-raung menahan sakit bantinganku. Apakah aku melakukannya begitu saja? Tidak. Asal diketahui temanku itu adalah ketua komplotan anak-anak jahil yang me-nangsangkan tas kelinci unguku di atas tumpukan kursi-kursi sekolah.
                Bukan itu saja, berlagak heroik melindungi teman-temanku yang girly abis. Akan ku gertak gerombolan cowok-cowok kecil yang merebut seperangkat “alat masak” di sekolahku. Mungkin ada bertanya sadis nian? Ya itu karena cowok-cowok mungil (karena umumnya mereka jauh lebih kecil dari aku) mengalihfungsikan alat-alat masak kami sebagai tamborin, drum, dan lain sebagainya. Mereka memukuli alat-alat masak itu sesuka hati. Alhasil, alat-alat itu penyok dan tak dapat digunakan sebagai mana mestinya.
                Satu lagi black record-ku ketika duduk di Taman Kanak-Kanak yang membuatku disidang Kepala Sekolah. Aku sukses mencakar salah satu teman lelakiku hingga putih dagingnya terlihat. Haha...#tawasetan. Singkat cerita, kala itu ibuku membelikanku penghapus pensil (kami menyebutnya stip). Suatu hari ketika pelajaran (aku lupa pelajaran apa) aku mencari penghapus baruku. Aku tanya ke sana kemari tak ada yang merasa meminjam. Beberapa waktu kemudian, aku tahu kalau salah seorang temanku yang meminjamnya tanpa izin (ghasab, bahasa kerennya). Tahu ia yang meminjam aku mencoba mengambilnya dengan jalan kekeluargaan. Ia tak mau. Ia bersikeras tidak meminjam. Kami pun bersitegang. Setelah ia tak mau mengalah, muncullah jurus itu. Cakar harimau lupa potong kuku. Ciaaat...dan menangislah ia #tawasetan.
                Kenakalan demi kenakalan masih berlanjut ketika aku duduk di Sekolah Dasar. Mulai dari perang sapu hingga adegan panjat pohon sawo. Siapa rivalku? Tentu saja para lelaki ingusan. Karenanya aku tak diberikan rangking pertama meskipun aku meraih hasil UN terbaik di sekolahku. Fiuh..Bukan hanya nakal, ketika kelas 5 aku memimpin kelompokku untuk menjadi kepoers (orang-orang yang ingin tahu banget). Gengku waktu itu sangat tak suka kalau ada salah satu dari teman kami sekelas yang pacaran, entah dengan kakak kelas, teman sekelas, atau adik kelas. Kami tak ingin konsentrasi belajar terganggu karenanya. Kami kepoin teman-teman yang punya kecenderungan menjalin hubungan lawan jenis. Begitu tahu kami akan laporkan ke guru kelas kami. Saking kepo-nya kami sering menggeledah kelas-kelas lain. Hasilnya berulang kali kami menemukan surat cinta yang berujung pada pelaporan pada pihak berwenang (guru, red.). Syukuuurr...haha#tawasetan.
                Kenakalan terakhir tercatat ketika aku duduk di kelas satu SMP. Seiring bertambahnya usia, kenakalanku pun berangsur terdegradasi. Catatan burukku waktu SMP adalah sebagai peloncat jendela. Jendela kelasku merupakan peninggalan Belanda, tinggi-besar tetapi, apesnya salah satu daun jendela itu lepas (atau sengaja dilepas aku tak tahu). Kondisi inilah yang mengaktivasi kenakalanku. Sering aku kejar-kejaran dan (tanpa) sengaja aku loncat keluar dari kelas lewat jendela. Lagi-lagi disini musuh bebuyutanku adalah cowok ABG yang demen abis “menghina” nama ayahku. Karenanya aku berusaha “membabat”nya.
                Walau demikian ada satu hikmah di dalamnya. Hingga detik ini aku tak pernah mengadakan ikatan yang akrab disebut pacaran. Alhamdulillah menjelang dua puluh dua aku masih terjaga untuk tidak melakukannya. Mungkin para lelaki takut aku gigit atau aku tendang begitu mendekat padaku.

Comments