Inspirasi Pucu’an (part 1): An Intangible Journey


Wifi Zone Perpustakaan Kampus B Universitas Airlangga, Jumat (18/1/13)
            Seperti pekan-pekan sebelumnya, tiap Jumat malam kami, para pengajar SCOLAH-UNAIR Mengajar mengadakan pertemuan. Membahas apa-apa yang mesti disiapkan untuk bahan Science Class esok Sabtu dan Ahad. Namun, tidak dengan malam ini. Ada pembahasan lain yang lebih riuh.
            Malam ini aku memang terlambat datang setelah harus pulang ke kontrakan untuk mengambil seperangkat majalah KUARK dan buku evaluasi untuk ku serahkan ke Kak Merinta (FEB’10). Berdasar jarkom, pertemuan ini akan membahas keberangkatan pengajar untuk membimbing KUARK di SDN Gebang II, Pucu’an, Sidoarjo. Baru kemudian aku tahu bahwa aku, Kak Hayu (FF’11), dan Kak Deddy (FEB’11) yang harus berangkat pertama esok hari. Antara percaya dan tidak, walau sebenarnya beberapa kali aku ditunjuk sebagai main teacher dadakan. Entah karena main teacher  seharusnya tiba-tiba menghilang, atau karena korban pem-bully-an teman-teman. Diantara mereka memang aku anak eksak yang sering nongol. Satu hal yang membuatku gupuh adalah materi dan silabus yang harus disiapkan. Gila! Banyak beud.
            Pulang dari pertemuan, sekitar pukul 21.30 aku meluncur ke apotek, membeli perlengkapan P3K. Entah kenapa, aku merasa nyaman pergi jauh dengan perlengkapan P3K. Pas dengan peranku kelak, seorang farmasis.
            Aku dan dua pengajar yang berangkat esok sepertinya telah benar-benar lelah hari ini. Selepas beraktivitas seharian, kami sepakat untuk istirahat dan bangun setelah shalat Tahajud. Sesuai kesepakatan siapa yang bangun pertama ia wajib membangunkan dua pengajar lain.

Surabaya-Sidoarjo, Sabtu (19/1/13)
            Seperti dugaanku. Akulah yang bangun pertama. Aku memang terkenal aneh ketika tidur karena mudahnya dibangunkan. Sering pula aku dijahili teman-teman kontrakan, mereka dengan teganya memberi pertanyaan padaku yang masih tertidur. Apa hasilnya? Aku akan terbangun, berfikir, menjawab pertanyaan, kemudian tidur lagi (kalau mau).
            Aku dan dua pengajar lain berusaha kuat agar malam ini bisa shalat Tahajud. Aku yakin ini menjadi salah satu penguat bagi kerusuhan perasaan kami, membayangkan hari ini yang undefined.
            Pukul 02.15 aku telpon kedua pengajar lain. Awalnya aku susah menghubungi mereka. Alhamdulillah itu karena mereka sedang shalat Tahajud.#sregep
            Malam itu aku benar-benar melanggar jam malam. Aku “terpaksa” online sekitar pukul 03.00 untuk mengoordinasikan ulang materi hari ini. Jujur ada perasaan tertekan (entah apakah Hayu dan atau Deddy juga merasakan hal serupa). Tertekan karena silabus yang begitu banyak sementara kami tak cukup waktu untuk mempersiapkan tools, seperti ketika kami mengajar di rubel (rumah belajar, red.). Jangankan mempersipkan tools, mempelajari materi yang akan kami sampaikan saja tak ada cukup waktu.
            Pukul 05.30 aku benar-benar meninggalkan kontrakan dengan membawa galau. Aku mengimajinasikan betapa crowded-nya pagi itu dengan kejadian yang mungkin terjadi beberapa tahun ke depan. Aku sebagai seorang ibu harus mempersiapkan kebutuhan pagi anak-anak dan suamiku, sementara aku sendiri harus pergi mengajar.#ngayal
            Terlambat beberapa menit dari perjanjian awal, akhirnya sekitar pukul 05.45 kami bertiga meluncur dengan tiga motor membelah kota Surabaya. Selama ini belum pernah aku pergi bermotor sepagi itu hingga aku menemukan sejuknya kota Surabaya. Subhanallah. Setelah berjumpa dengan beberapa orang akhirnya pukul 07.00 kami sampai di dermaga tempat pemberangkatan kami. Selepas berdoa akhirnya kami “dilepas” Pak Direktur. Deddy sempat berujar, “Koyo pengajar muda arep ditempatkan ae.”#pancen
            Perjalanan berperahu berakhir 1,5 jam kemudian. Mencapai sebuah sekolah dasar di muara perjalanan. Itulah yang membuat aku berspekulasi sebab desa tersebut diberi nama Pucu’an. Selama perjalanan aku tercenung, inilah pulau Jawa yang disebut sebagai center of Indonesia, jantung kehidupan negara kita. Ternyata di pulau ini masih ada daerah yang (cukup) ekstrim. Perjalanan itu luar biasa, aku bisa melihat bagaimana keteguhan guru-guru yang ada. Meski (lagi-lagi) aku jadi korban pem-bully-an beliau-beliau. Maklumlah diantara rombongan kami berlima hanya aku yang berasal dari luar Jawa Timur. Aku melihat ketulusan yang ada pada mereka. Walau medan yang ditempuh luar biasa, aku melihat beliau tetap mempersiapkan segalanya. Tak kalah dengan guru-guru di kota, mulai tampilan hingga gadgetnya haha...Ah, apapun itu hikmah yang begitu berarti adalah membuatku semakin bersyukur atas pendidikanku selama ini....to be continue

Comments