Menuju Bumi Ruai Jurai (to be continue)


            Janji adalah hutang, dan hutang harus dilunasi. Satu janji yang baru dapat ku tepati sejak tiga tahun lalu. Ya, janji pada saudariku di negeri nun jauh di sana, sebut saja namanya Lutfi.
            Sore itu, Rabu, 10 Agustus 2011 diantar salah satu kakak kontrakan yang sekarang menempuh studi masternya di Universitas Indonesia aku berangkat menuju halte depan kampus. Bersiap menempuh perjalanan antar pulau. Perjalanan yang tak pernah terbayang sebelumnya. Teringat bagaimana shock-nya ibuku ketika pagi sebelum keberangkatan. Sambil melihat tarian setrika di atas bajuku yang akan ku bawa bertualang, ku telpon ibuku pagi itu.
Bla..bla..bla..
Aku      : Mi, dongakke nggih (Mi, doakan ya)
Ibuku   : Nggih. Lha, arep ngopo to? (Ya, emang mau ngapain?)
Aku      : Hehe...ajeng enten acara (Mau ada acara)
Ibuku   : (mulai herman *eh heran)..O..nang ngendi? (O...dimana?)
Aku      : Hehe..teng Lampung (Hehe..di Lampung)
Ibuku   : Whit..(ekspresi kaget)...sik sik...Lampung ki ra Sumatra to? (Sebentar, Lampung itu
  kan Sumatra?
Aku      : (kukur-kukur) (garuk-garuk)Hehe..lha nggih, pripun? (Hehe..iya, bagaimana?)
Ibuku   : Acara apa? (acara apa?)
Aku      : Seminar Nasional kalih Musyawarah Kerja Nasional. Perwakilan saking kampus
  (Seminar Nasional sama Musyawarah Kerja Nasional. Perwakilan dari kampus).
Ibuku   : Lha kapan mangkatmu? (Kapan berangkatmu?)
Aku      : Mangkih sonten (nanti sore).
Ibuku   : Numpak? (naik?).
Aku      : Bis.
Ibuku   : Lha karo sopo? (Sama siapa?)
Aku      : Kalih kanca kula sekawan, mbak Wulan, Ifah, mas Nakif, kalih Dhimas (sama teman saya, empat, mbak Wulan, Ifah, mas Nakif, sama Dhimas)
Ibuku   : Lha dhuwitE? Po kowe nduwe? (Uangnya? Apa kamu punya?)
Aku      : Dibayari kok kalih fakultas hehe... (Dibayari kok sama fakultas)
Ibuku   : Yo wis, ngati-ati. Nek wis tekan nggone telpon po sms ( Ya sudah, hati-hati. Kalau   
              sudah sampai tempatnya telepon atau sms)
Aku      : Nggih, mak (Ya, Bu)
            Pukul 15.15 kami bertolak dari halte depan kampus, diantar “pom-pom” mbak-mbak dan “bapak-bapak” kami. Tepat saat masuk bis, pemimpin perjalanan kami, Pak Nakif tanpa ekspresi bilang “Mal, ojo kaget yo nek wiruh kursine.” (Amal, jangan kaget ya kalau lihat kursinya). Saya sedikit heran. “Kursine kari lima, mburi dhewe” (Kursinya tinggal lima, belakang sendiri). Bukankah kita berlima, tiga akhwat, dan dua ikhwan? Lha terus? Sebelahan sama ikhwan selama safar? Astaghfirullahal’adhim..bukankah saya sebagai “bendahara” dadakan waktu itu sudah diwanti-wanti jauh-jauh hari untuk segera pesan tiket?
            Heroik. Satu kata yang terucap saat itu. Mungkin orang-orang melihat keanehan kami. Betapa tidak demi menjaga hijab, dua orang rekan kami (ikhwan) rela pangku-pangkuan sepanjang perjalanan. Sementara satu kursi sebelah saya ditumpuki tas sebagai hijab darurat. Ya rabb, tak terbayangkan pendapat orang-orang ketika itu. (to be continue)


Comments