Menuju Bumi Ruai Jurai (habis)


            Petualangan pun dimulai bersama bis yang meliuk-liuk membelah pulau Jawa. Besar godaan itu membatalkan puasa hari itu yang tinggal beberapa jam lagi. Pasalnya, perjalanan kami mengarah ke barat, itu artinya waktu puasa kami semakin panjang bak kejar-kejaran dengan adzan Maghrib.
            Waktu berputar dan semakin pekat, seperti biasa aku sering terbangun dari tidur. Selain karena posisi dudukku yang nggak pewe buanget juga karena penasaran dengan kondisi perjalanan. Dini hari menjelang, sahur pun kami lakukan dalam perjalanan. Diantara yang paling tidak ku suka dari perjalanan dengan bis malam adalah makan malam yang terlalu larut fiuh.
           Hari pun berganti, melihat mentari pagi di perbatasan Jakarta-Banten. Hingga tengah hari antre meyemut masuk dek kapal di Merak. Tiga jam di atas kapal, pengalaman kedua setelah dua tahun sebelumnya berlabuh di Ketapang. Mendekati Bakauheni, dari kejauhan terlihat bangunan yang ku duga khas Bumi Ruai Jurai. Setelah ku tanyakan kemudian waktu, gedung itu merupakan prototipe siger, mahkota pengantin perempuan dalam adat Lampung. Asal diketahui, di Lampung hampir semua rumah bahkan pertokoan pasti memasang lambang siger di depannya. Hmm...cute banget deh. Berdasar info rekan-rekan di sana adat memasang lambang daerah ini tidak hanya di Lampung saja, beberapa daerah di Sumatera juga melakukan hal yang sama. Bikin penasaran aja.
            Sekitar pukul 14 yang ku ingat hari itu hari Kamis, kami tiba di Asrama Haji seberang Gedung Serba Guna Universitas Lampung setelah diantar paman temuan-nya si Dhimas. Tau tuh anak nemu dimana fiuh..Beberapa panitia antusias menyambut kami, serasa jadi bintang film *ha'cing...Pertanyaan pertama yang kami ajukan pada mereka adalah, "Permisi kamar mandi di mana ya?" *glodak. Tahu sendiri lah..perjalanan yang memakan waktu 24 jam tanpa mandi menghasilkan aroma yang karakteristik plus rasa lengket yang tiada terkira fufufu...
            Pembagian kamar, kondisi yang sangat ih waw bagi kami. Empat dari lima sekawan dari wilayah empat ada di satu kamar, gila. Inilah biangnya, perusuh nan ramai. O iya, lupa memperkenalkan lima sekawan ini, yang pertama jelas aku, yang kedua ada Mulyana (sebut saja demikian), perwakilan dari Universitas Negeri Semarang, kemudian ada Octaviani (juga sebut saja demikian), yang termuda di antara kami, perwakilan dari Universitas Jendral Soedirman. Ada lagi Addina (lagi-lagi sebut saja kemudian), perwakilan dari Universitas Gajah Mada, yang beberapa waktu lalu melepas masa lajangnya. Ya Allah...Terakhir ada Triea (haha...yang ini juga sebut aja demikian), perwakilan dari Universitas Negeri Yogyakarta yang sebenarnya berdomisili di Lampung. Tragedi pembagian kamar ini, sampai terdengar di kalangan tetangga sebelah. Astaghfirullah...
            Beragam sidang digelar, dan aku yang masih newbie hanya mampu melongok, menikmati. Meski ada beberapa orasi dan argumentasi yang boleh dikatakan membuatku terkagum-kagum. Astaghfirullah...jaga hati Amal!!!Orasi yang begitu memukau disampaikan Badan Pekerja yang saat itu diamanahkan kepada Universitas Indonesia, sebuah universitas yang pernah aku impikan. Ah, sudahlah...Satu lagi yang membuat terhenyak, dengan pemilihan diksi pada argumentasinya. Belakangan saya ketahui bahwa beliau adalah ketua Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus Nasional wuih...pantes kalimatnya sistematis banget.
            Kejadian yang tak terlupa, di sana adalah saat diusir dari ruang sidang. Ya ampun, kok iso? Apalagi kalau bukan karena menolak amanah, walhasil perwakilan dari empat universitas dikeluarkan selama sekitar setengah jam. Haha...lumayan buat refreshing *ups. O iya, atas izin Allah, di sana juga dipertemukan dengan salah satu kakak tingkat waktu SMK. So, waktu itu akhirnya kita gunakan untuk bernostalgila *eh. Sebenarnya waktu diusir ada perasaan takut yang berlebihan tak dapat menolak amanah. Ya Allah, entah kenapa ada feeling saat itu untuk melanjutkan estafet dari pendahulu-pendahulu. Masih merasa tak mampu mengoordinir, suatu lembaga tingkat nasional.

            Setengah jam kemudian, panitia memanggil kami. Langkah yang semakin berat, saat tiba di pintu masuk. Triea yang saat itu ada di ruang sidang langsung menyalamiku. Ya Allah, aku merasa kampusku belum siap saat kemudian diumumkan bahwa kampus kami menggantikan posisi UI menjadi Badan Pekerja. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.
            Sidang demi sidang terus berlangsung. Sebenarnya sering merasa mupeng melihat perform dakwah universitas-universitas lain yang kemudian ku tahu kini bahwa hal itu tak boleh terjadi. Sebab setiap teritori memiliki ujian tersendiri. Astaghfirullahal'adhim.
            Agenda demi agenda formal selesai. Saatnya kami membawakan titipan rekan-rekan di kampuang. Ah, selalu aja temen-temen itu minta bagian fufufu...tapi, kami mengalah kok karena kemarin mereka patungan membiayai keberangkatan kami.
            Sepanjang perjalanan pulang rasanya semakin tidak karuan. Pak Nakif sebagai sesepuh selalu "menggodai" aku dan Dhimas untuk segera bersiap melanjutkan estafet selanjutnya. Meski, selalu kami jawab dengan guyonan tapi, tetap ada beban berat bagi kami. Ya rabb..

       Beberapa waktu kemudian, apa yang aku pikirkan terjadi. Mbak Nurul, koordinator sebelumnya tegas-tegas melamarku meski telah ku ungkapkan alasan-alasanku yang masih ingin mengejar cita yang tertunda. Teringat benar di kantin berdua, beliau berusaha meyakinkanku. Gelagat mbak Nurul sebenarnya sudah terlihat beberapa waktu sebelumnya, saat secara tidak langsung aku diminta menjadi pelaksana harian menggantikan beliau yang naik pangkat menjadi sekretaris bidang. Aku yang harus menyeimbangkan pola kerja partner yang mbak Nurul tinggalkan, Pak Rony. Maklumlah beliau dua tingkat di atasku. Hal inilah yang kemudian menjadi bahan pembelajaran bagiku saat ini yang diharuskan menjadi partner kerja orang yang sebenarnya dua tahun di bawahku.
            Sebelum akhirnya aku meninggalkan universitas yang pernah membesarkanku selama dua tahun, aku sempat memanggul beratnya amanah itu. Ditambah saat itu, aku harus bekerjasama dengan mahasiwa yang sebenarnya masih baru, karena Dhimas ditarik menjadi kepala bidang. Dari yang paling kecil di lembaga hingga yang paling tua. Perlahan harus ku dampingi mereka yang masih menilai sesuatu secara idealis. Hingga tiga bulan paska aku membesarkan dan merawat, ku tinggalkan mereka. Itulah sebabnya ketika aku menjadi mahasiswa baru di UNAIR sering terlihat sibuk sendiri (lebih tepatnya sok sibuk). Sepertinya mereka bak kehilangan induk. Beberapa kali mereka mengadukan kebingungan-kebingungan padaku. Tapi, aku bukanlah pahlawan yang siap sedia membantu kapanpun, di manapun, dalam keadaan apapun.
                  Kaderisasi, di antara kata yang sering membuat kelenjar lakrimalku meneteskan cairan khasnya. Beberapa kali ku sampaikan tentang gagalnya diri ini dalam dunia kaderisasi pada rekan-rekan. Hal itu tak lain dan tak bukan disebabkan karena kejadian ini. Aku merasa telah mendzalimi banyak pihak, baik secara internal maupun eksternal. Ya rabb...maafkan ketidakmampuan hamba-Mu ini dalam membesarkan generasi-generasi pengusung agama-Mu (habis)

Tiga tahun setelahnya,

Comments