Priority of Life : A Book Review

 

"Fiqh Prioritas", adalah sebuah judul karangan ulama besar, Dr. Yusuf Al Qaradhawy. Buku yang sudah saya punya sejak awal 2017 lalu, tapi baru terselesaikan di masa pandemi, 2020 ini. Salah satu buku yang berhasil saya tuntaskan dari awal hingga akhir. Procrastination, mungkin itu lah penyebab begitu banyak buku yang saya punya tapi tidak berhasil saya selesaikan.

Buku dengan tebal 382 halaman ini berhasil saya tuntaskan mulai dari sampul depan hingga belakang. Fascinating book, begitu first impression ketika membaca buku ini dan sangat relevan dengan kondisi saat ini. Di mana banyak orang yang terlihat rajin melakukan kebaikan tetapi, sebenarnya sangat tidak efektif bahkan dalam tinjauan fiqh.

Pada bagian-bagian awal buku ini, penulis berhasil menarik perhatian saya dengan sebuah sentilan,

" Dunia seni dan hiburan senantiasa diprioritaskan dan didahulukan atas persoalan yang menyangkut ilmu pengetahuan dan pendidikan." (hal. 13)

hal yang sangat menyedihkan dan jamak terjadi di Indonesia, di mana penelitian-penelitian tersendat karena terbentur dana. Sementara gebyar dunia seni semakin kemilau. Tak heran banyak anak yang bercita-cita menjadi entertainer meski hanya sekelas pengguna aplikasi Tik-Tok. Mereka berharap panggung itu menjadikannya famous karena menjadi seorang ilmuan atau orang yang berilmu tinggi justru tak diminati masyarakat.

Bagian-bagian awal dan bagian yang paling menyentuh dari buku ini adalah betapa "keras" sentilan beliau pada orang-orang yang melakukan kesalahan prioritas dalam beragama khususnya pada mereka yang melakukan haji sunnah.

Seperti kita ketahui, kewajiban haji hanyalah sekali seumur hidup. Sedangkan haji sunnah adalah haji yang kedua, ketiga, dst.

"Kebanyakan orang-orang yang pergi haji ke Tanah Suci pada musim haji tiap tahun adalah orang-orang yang tidak lagi dibebani untuk melaksanakan kewajiban ini. Karena, mereka telah melakukannya di masa-masa sebelumnya. Orang-orang yang pergi ke Tanah Suci dan sebelumnya belum pernah melaksanakan ibadah haji ini, jumlah mereka tidak lebih dari 15%. Kalau kita asumsikan jumlah jamaah haji 2 juta, maka jumlah orang yang pertama kali melakukan ibadah haji in tidak lebih dari 300 ribu orang." (hal. 19)

bagian yang paling sering beliau ulang-ulang, menegaskan bahwa ada yang lebih penting dari haji sunnah yaitu kewajiban-kewajiban menegakkan agama ini dengan membantu fasilitas-fasilitas pendidikan dan ilmu pengetahuan, membantu mengatasi kemiskinan, kelaparan, ancaman convert keyakinan, dsb.

Selain itu beliau juga banyak membahas tentang perpecahan umat ini hanya karena hal-hal yang bersifat furu'iyah, cabang. Padahal kesatuan umat ini merupakan kewajiban dan kesadaran bahwa umat ini memiliki common enemy jauh lebih penting daripada ego pribadi atau golongan. Beliau banyak mencontohkan hal tersebut dalam perbedaan gerakan-gerakan shalat yang sebenarnya masing-masing memiliki dalil.

Jika pada bagian di atas beliau menegaskan tentang prioritas hal wajib atas sunnah, maka pada bagian lain buku ini beliau menegaskan tentang prioritas hal yang memberikan maslahat atas kerusakan.

Pada bagian ini beliau kisahkan tentang suatu daerah yang mana banyak terdapat anak muda cerdas nan shalih yang belajar ilmu kedokteran, kemudian karena merasa bahwa ilmu agama lebih penting, maka mereka semua meninggalkan pendidikan kedokterannya untuk belajar ilmu-ilmu agama. Lalu, beliau mempertanyakan bagaimana jika dalam suatu daerah tidak ada seorang dokter Muslim? Bukankah tidak menutup kemungkinan bahwa pengobatan dilakukan dengan menggunakan hal yang haram? Atau mungkin syariat, puasa misalnya dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan bagi kesehatan.

Buku ini juga membahas tentang prioritas kualitas atas kuantitas. Hal yang mengingatkan saya pada proses pengelolaan sumber daya manusia yang dulu banyak digeluti ketika kuliah.

Hal ini beliau contohkan dalam beberapa peperangan yang terjadi jaman Rasulullah. Bahwa jumlah yang banyak tetapi tidak taat hanyalah seperti buih yang terombang-ambing. Beliau menekankan pula bahwa pewarisan generasi yang kuat sangatlah penting.

Tentang kualitas ini bukan hanya berkaitan dengan kualitas umat Muslim, tetapi juga pada masing-masing individu, di mana ibadah sederhana tetapi, persisten menjadi lebih utama dibandingkan ibadah yang membutuhkan effort besar, tetapi tidak konsisten.

"Orang yang beramal, tetapi tidak disertai dengan ilmu pengetahuan tentang itu bagaikan orang yang melangkahkan kaki, tetapi tidak meniti jalan yang benar. Oang yang melakukan sesuatu, tetapi tidak memiliki pengetahuan tentang itu, maka dia akan membuat kerusakan yang lebih banyak daripada perbaikan yang ia lakukan. Carilah ilmu selama ia tidak menggangu pencarian ibadah yang engkau lakukan. Beribadahlah, selama ibadah itu tidak mengganggu pencarian ilmu pengetahuan. Ini karena ada sebagian kaum muslimin yang melakukan ibadah, tetapi mereka meninggalkan ilmu pengetahuan sehingga mereka keluar dengan pedang mereka untuk membunuh umat Muhammad S.A.W. Kalau mereka mau mencari ilmu pengetahuan, nicaya mereka tidak akan melakukan seperti apa yang mereka lakukan itu."
Begitulah yang disampaikan oleh Imam Hasan al-Bashri tentang prioritas ilmu atas amal. Tanpa adanya ilmu, tak menutup kemungkinan sesama Muslim saling menumpahkan darah.

Bagian yang cukup menarik bagi saya yang pernah terjun di dunia pendidikan adalah bagimana kaidah menyampaikan suatu ilmu sesuai dengan kondisi penerimanya sebagaimana disampaikan Ali r.a.
 
"Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar pengetahuan mereka. Tinggalkan apa yang tidak cocok dengan akal pikiran mereka. Apakah engkau menghendaki mereka mengatakan sesuatu yang bohong terhadap Allah dan Rasul-Nya?"
hal tersebut juga disampaikan oleh Ibnu Mas'ud,
"Engkau tidak layak menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai dengan kadar kemampuan otak mereka. Jika tidak, engkau akan menimbulkan fitnah pada sebagian orang itu."

Masih berkaitan dengan ilmu, beliau juga menyinggung tentang kesalahan prioritas pemahaman atas hafalan, di mana saat ini persoalan dalam dunia pendidikan bahwa pendidikan didasarkan pada hafalan dan "kebisuan", tidak didasarkan kepada pemahaman dan perencanaan.

Tak hanya membahas hal yang berkaitan dengan akhirat, tetapi juga beliau membahas tentang prioritas ilmu-ilmu dunia. Bahwa dalam melakukan perencanaan studi harus didasarkan pada studi kelayakan, sehingga para aktivis Islam selalu melakukan sesuatu atas perencanaan.

Pada bagian tertentu beliau juga mengulik tentang prioritas dunia pertanian, industri, dan perekonomian. Maka, hal tersebut akan sangat tergantung oleh jaman dan semuanya dibutuhkan. Pertanian misalnya, pada masa-masa kekurangan pangan dan masyarakat sangat memerlukan bahan makanan sehari-hari mereka, pertanian menjadi yang paling utama di banding lainnya.

Dalam hal amal, beliau menekankan prioritas amalan hati di bandingkan amalan lahiriah. Karenanya shalat sunnah lebih utama daripada membaca Al-Qur'an dan membaca Al-Qur'an daripada zikir. Meskipun demikian, hal tersebut dapat berubah menurut waktu dan keadaan. Misal, membaca Al-Qur'an setelah shalat Subuh dan 'Asyar menjadi prioritas daripada shalat sunnah, karena tidak ada dalil shalat pada kedua waktu tersebut. Kemudian, zikir pada saat rukuk dan sujud juga menjadi prioritas dibanding membaca Al-Qur'an. 

Jika, pada awal-awal review ini lebih banyak membahas tentang ilmu, amal, dan ibadah yang berkaitan dengan individu dan masyarakat Muslim, maka pada buku ini juga di bahas tentang bagaimana prioritas pada ranah-ranah yang lebih heterogen. Pemerintahan misalnya. Hal yang menarik dalam buku ini disebutkan bahwa suatu daerah atau wilayah yang dipimpin oleh pemimpin yang dzalim jauh lebih baik daripada tidak ada pemimpin sama sekali.

Saya kira, terlampau banyak hal penting dari buku ini yang menarik dan bermanfaat untuk selalu kita baca dan pahami untuk dituliskan hanya sependek artikel ini. Menikmati halaman demi halamannya terasa lebih menyenangkan dan 'ketagihan' untuk terus membaca dan membaca.

Satu hal yang pasti adalah perubahan, termasuk dalam hal fiqh itu sendiri yang dipengaruhi oleh waktu dan tempat. Bukankah Imam Syafi'i sendiri juga melakukan hal tersebut?

Wallahu'alam bish showab.

Comments